Jatuh Cinta?


A
ku paham selama ini aku hanya mempelajari apa yang tak ku mengerti, dan itu sama sekali tak penting bagiku. Itu hanya membuang-buang waktuku saja. Entah apa yang ku pikirkan.
                Selalu saja aku tak mengerti apa yang harus kulakukan dikemudian hari.
                “Tahukah enangkau?” ujarku sesaat dalam pikirku. Sungguh membuat lidahku keluh, membuatku kehabisan kata untuk ku tulis disecarik kertas ini. Bukan dusta yang ku damba, hanya saja dunia ini penuh dengan kebohongan-kebohongan kecil yang kemudian menjadi besar dan menggelinding.
                Itu semua berawal dari kisah sederhanaku ini. Disore yang hangat ini, yang disinari sang surya yang mulai surut. Sungguh hangat yang kurasa. Rasa itu seakan meleleh tiba-tiba, yang semula beku menjadi panas. Yang semua hambar perlahan menjadi manis. Terhentak aku bersandar pada satu nama yang begitu indah.
                Ketika itu aku memulai semuanya dengan senyuman yang paing ikhlas , walau sebenarnya hatiku sedang letih. Letih kaarena keseharian yang monoton saja, tak ada pulas yang mewarnai keseharianku ini. Ada yang berbeda pada hari Rabu yang istimewa ini. Karena rasa itu mulai terasa hangat. Entah menggapa, hatiku tak tenang. Mendamba seseorang yang begitu tak tersentuh.
                Apakah ini yang dinamakan sesuatu, sesuatu yang sulit tuk kulafal. Yang jarang kuucap, jauh dari anganku saat kupikir apa yang sedang terjadi. Perasaan itu yang membuatku terbang tinggi, melesat bak roket Nasa yang super cepat. Bukan main yang ku rasakan saat itu. Perasaan itulah yang dinamakan cinta.
                “Cinta?”
yang benar saja, batinku mulai terusik. Kegaduhan tertumpah dalam anganku. Ini sungguh tak wajar. Ya Allah apa yang harus kulakukan saat ini. Kepalaku penuh dengan tanda tanya, pertanyaan yang mulai mencuat dalam kalbu. Menusuk hatiku dengan tulang igaku sendiri. Bukan main rasa sakit itu.
Rasa sakit itu datang semenjak aku tahu apa yang terjadi. Aku jatuh cinta. Parahnya lagi, aku suka kepada seseorang yang tak selayaknyaku jumpai dalam anganku. Pemuda berparas tampan itu bernama  Aloysius Ghuntur Pandaarius Hedderariusta Putra Sangkalabuhana. Dari namanya saja sudah terlihat bahwa dia bukan orang Islam. Tak main-main orangtuanya memberi nama nan megah itu. Benar-benar nama yang belum pernah ku jamah ditelingaku. Nama yang begitu panjang, halayak sang kakala yang mencuat. Aku pernah berpikir, jika dia menuliskan namanya di Lembar Jawaban Komputer (LJK) pada saat ujian apakah tidak terlalu panjang singkatannya. Nama yang sanggat susah bagiku untuk dihafal dan kulafalkan. Nama yang begitu banyak kata ius dan banyak huruf a. Panggil saja dia Ghuntur.
Masih teringat aku saat kami dipertemukan di sebuah ruangan khursus Bahasa Prancis. Kami berkenalan tak sengaja. Benar-benar seperti dalam cerita novel percintaan. Sanggat lucu ketika aku menulis semua ini. Itu di mulai pada sore hari pada malam minggu, tepatnya pukul lima sore hari. Kami tak sengaja bertemu di parkiran motor saat itu, dengan tidak sengaja aku menjatuhkan kunci motorku dan bodohnya aku tak menyadari hal itu. Disitulah semuanya berawal. Kemudian aku mmendengar suara seorang lelaki yang belum pernah kudengar. Ghuntuk mengejarku dari belakang dan menyentuh bahuku, sekejap saja aku langsung kaget. Dengan terengah-engah dia menyerahkan kunci motorku yang suka berlarian tak tahu arah. Terang saja, waktu itu aku memang sudah berpikir jika pemuda berparas tampan itu baik hati ddan ramah. Buktinya setelah itu Ghuntur mengajakku ngobrol sebentar dan kamipun berkenalan. Dan tiba-tiba setelah aku bertanya siapa nama gerangan itu, ia menlafalkannya begitu cepat. Tidak sampai satu detik kupikir. Aku hanya bisa terheran-heran.
“Bisa enggak diulangi sekali lagi? Kamu bicara terlalu cepat.”
“Tentu saja, Aloysius Ghuntur Pandaarius Hedderariusta Putra Sangkalabuhana”
Aku terpana waktu itu, tertegun tak berdaya. Ia berkata begitu pelan.
“Ada yang pendeknya enggak?”
“Kenapa? Terlalu sulit ya? Atau terlalu panjang? Kalo gitu panggil aja aku Ghuntur”
Ia tersenyumm manis. Setelah itu aku minta diri untuk pergi ke toilet, kami pun berpisah di sana. Aku melihat Ghuntur mulai menjauh, begitu pula aku.
Setelah aku pergi ke toilet aku pergi ke sekertariat untuk bertanya dimana ruanganku. Ternyata aku ruang dua, dan aku mulai beranjak untuk mencari ruang tersebut. Akupun masuk dan membuka pintu besar itu dengan perlahan, aku dikagetkan karena aku melihat Ghuntur disana. Aku bersyukur karena sudah memiliki teman, ya walaupun hanya beberapa menit yang lalu kukenal.
Saat itu aku hanya merasa biasa saja, tak ada rasa yang benar-benar berarti. Semakin hari kami semakin akrab jikalau bertemu.
Perasaan itu dimulai saat nama kami berdua ditulis di papan putih yang bersinar karena baru aja dihapus. Itu adalah sebuah permainan, permainan yang baru setiap harinya. Aku tak tahu menahu tentang semua itu, dan tiba-tiba Ghuntur menatapku begitu dalam.
“Apa ini?”
“Kenapa dia menatapku seperti itu?”
Tatapan yang begitu mengguras. Seakan waktu berhenti begitu saja, hanya kami  berdua. Tak dapat kulukiskan seperti apa waktu itu, yang jelas begitu syahdu dalam senyum yang terurai begitu saja. Begitu indah saat itu, terang saja tatapannya itu membuatku selalu merasa tak tenang.
Semenjak itu, aku selalu mengharapkan rasa yang takkan pernah kuingin terjadi padaku. Pada setiap detik nafasku penuh dengan harap, arti, dan tentu saja hasrat yang kuat. Aku tak yakin dengan apa yang aku rasakan saat itu. Sungguh ku tak menyangka, sejenak aku tertegun sendu di bawah sinar bulan yang syahdu malam itu.
“Mengapa ini semua terjadi padaku? Dan kenapa?”
Masih dengan khayal aku melayang, terbang tinggi di bawa oleh pikirku. Melesat jauh dari pendangku, jauh dari bumi pertiwi. Baru kali ini dilema yang ku dapati begitu rumit tuk ku pikirkan. Apalagi sekolah kami benar-benar berbeda, dia bersekolah di sekolah yang non-Islam sekali dan aku di sekolah yang Islam sekali. Apa salahku Ya Allah, banyak sekali dosaku sehingga cobaan yang begitu berat ini menghinggapiku.
Aku mencoba tuk menenangkan pikirku sejenak dan bergegas beranjak ke tempat tidurku yang nyaman.
Pagi harinya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Seolah tak terjadi apa-apa, hanya kubanyak berdiam. Lebih banyak aku merenung dan melamun, mungkin hampir setiap guru menerangkan aku tak mendegar seutuhnya apa yang sedah dibicarakan. Aku tak begitu perduli dengan pelajaran waktu itu. Aku benar-benar merasa ini bukan diriku, bukan sesungguhnya aku. Apa semua itu terjadi setelah aku mengenal Ghuntur? Seakan semuanya pun berubah seratus delapan puluh derajat dari yang biasa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pageviews

Time

Buku Tamu

Doctor Who Seal of Rassilon