Lembar-demi lembar aku mencurahkan setiap asa yang kurajut di buku harian usang ini aku mengisahkan segalanya. Setiap harinya aku memaknai dengan sepenuh hati. Yang mungkin hanya dapat kusentuh dan terngiang begitu saja. Perlahan aku menorehkan tinta pekat ini dengan segala rasa yang tertuang didalamnya.
A
|
ku sadar selama ini aku mempelajari hal yang hanya aku tak bisa. Dan itu
membuang waktuku saja. Aku mulai jenuh dengan apa yang kulakukan dalam
keseharianku. Dan aku mulai menulis apa-apa yang lebih berarti dari sekedar
makna belaka. Entah apa yang tersirat dan terpendam dalam kelam karena tertegun
menatap indahnya makna yang tak sempat tertuang dalam kenang. Yang mungkin
dihempas angan yang terbaring terkujur menantang sang matahari.
Kisahku dimulai saat sore itu aku memulai hariku dengan penuh semangat,
penuh dengan keikhlasan walaupun sejujurnya aku berdusta dalam hati. Penat yang
kuhadapi terlalu letih untuk membangun senyuman walau hanya sedikit saja. Namun
semua itu terlupakan setelah aku melihat senyum manisnya. Yang membuatku
tersenyum semanis mungkin untuk dia, namun dengan kata yang membisu.
Aku bingung atas apa yang hari itu kurasakan, begitu tak masuk akal saat
itu. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?
Bergejolak dalam hatiku saat ini. Rasa itu benar-benar mengusik dalam
kalbu. Mendayu perlahan dengan penuh kesunyian yang menghampiriku dengan penuh
kelabu. Tak tersentuh seakan mati suri dalam angan. Asaku tak sampai dalam
benak. Aku tak sanggup untuk menatap matanya yang begitu menawan. Mulaiku
beranjak untuk menaklukkan rasa itu. Entah mengapa, aku selalu bertanya-tanya
dan bergerak tak tahu arah.
Aku menatap awan yang begitu tinggi, menjulurkan tangan munggilku ke
angkasa yang luas. Melayang ke angkasa dan meninggalkan bumi pertiwi itu.
Apakah ini yang dinamakan cinta? Perasaan yang tak pernah terpikir dalam
benakku.
Bukan main rasa panikku, sangat janggal. Ya Allah terangilah jalanku
berikan aku petunjuk yang benar-benar kudamba. Doaku akan dipeluk oleh Allah,
dan aku selalu percaya hal itu. Allah tidak pernah sedetikpun melupakan doa
makhluk-Nya.
Rasaku hancur saat aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Setelah aku
mengetahui kata yang keluh bila kuucapkan.
“Aku jatuh cinta?”
Hatiku seakan tertusuk tulang igaku sendiri, setelah aku tahu kita berbeda.
Tentu saja yang kumaksud bukanlah jenis kelamin kami. Namun hal yang begitu
penting untuk hidupku. Hal itu adalah agama kami, agama kami yang sangat jauh
berbeda. Hatiku seperti tertimpa matahari yang begitu maha dahsyat
menggemparkan hatiku. Perih sekali.
Lelaki berparas tampan itu bernama Dhiky, bukan main. Apa yang terjadi,
begitu bodohnya aku. Sampai-sampai ini menimpaku, seperti batu yang begitu
besar dan beratnya bukan main. Seakan bumi ini ikut merasakan keluh kesahku,
bergetar begitu dahsyat.
Tolong bantu aku bangkit dari rasa ini,
tolong katakan aku salah, dan tolong katakan aku harus meninggalkan semua itu.
Mungkin benar ketika aku membatin ketika cintaku padamu hanya sependar cahaya
lilin yang redup, yang menyala berdampingan dengan cahaya terang lainnya. Dan
aku masih saja ingin kau tuk membiarkan nyala ini bersinar walau hanya disudut
hatimu.
Hal itu yang membuatku termenung selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Bahkan hanya untuk menatap matanya akupun tak sanggup.
Namun, apakah aku salah tuk menanti sebuah
kata yang tak sempat terucap? Yang mungkin terlewatkan oleh abu yang dihempas
berjuta peluh yang tak sempat terdera. Karena aku hanya manusia biasa yang
ingin menikmati ayunan dunia ini. Merasakan setiap terpaan lika-liku kehidupan
yang tak bersahabat. Menikmati setiap kekurangan yang kumiliki dan menggoda
setiap sapaan cobaan yang menghampiri.
Hanya saja, semua itu tak sempat
kutuliskan sebagaimana yang seharusnya terkuak. Hati ini rapuh, hanya kesunyian
malam yang menemani. Menyoyakkan hati ini dengan segala gundah yang tersirat.
Hal itu dimulai saat sore hari nan sejuk itu, saat aku harus beranjak dari
istana rumahku. Dan bertemu dia di tempat kursus. Aku mencoba untuk melenyapkan
rasa itu. Begitulah yang aku tahu, semampu kuberusaha sekeras apapun itu aku
tetap tidak dapat menghapusnya. Semakin aku berusaha menghapus rasa itu,
semakin rasa itu menjadi saja.
Dan ketika hari itu tiba, di bawah sinar bulan yang syahdu, ia datang
menghampiriku. Menghampiriku dengan tidak membawa kisah yang kosong. Hal itu
menampik setiap rasa sakit dan keluhku dalam hati. Dhiky datang membawa rasa
yang begitu hangat yang tak sanggup kulukiskan dalam sebuah kata. Berjuta
bintang menyaksikan, sinar bulan syahdu turut melantunkan tembang yang begitu mempesona. Karena ia datang membawa
harapan besar bagiku, bagi secarik kertas yang semula kusam menjadi penuh warna
terlukiskan oleh pastel nan indah dan berwarna-warni.
Ia mulai berbicara tentang hal-hal yang membuatku tertawa kecil. Membuatku
tersipu malu tanpa alasan ketika ia mulai mengatakan yang sejujurnya tentang
perasaannya.
“Sejujurnya, aku mempunyai begitu banyak bahkan milyaran kata untuk
melukiskan apa yang aku rasakan padamu. Begitu susah untukku berdusta tanpa
sebab. Enggak banyak yang bisa kuucapkan aku ingin puitis dan membacakanmu puisi yang
menyejukkan hatimu, namun aku tidak bisa. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu
yang indah tentang romeo juliet tapi aku tak bisa bernyanyi. Aku hanya bisa menjadi apa adanya aku yang
sebenarnya. Langsung saja, sudah kupikirkan ini berbulan-bulan dan aku sadar
ini yang akan aku lakukan.”
Ia mengatakan semua itu penuh dengan makna, dengan lembutnya suara itu berngiang.
Tak sanggup kubayangkan, aku mulai menerka-nerka apa yang akan selanjutnya ia
ucap. Kata yang perlahan terdera, mata yang terus saja menatap tak sedikitpun
jenuh dibikinnya. Setelah apa-apa yang Dicky ucap tak sedikitpun aku tak
mendengar. Setelah ia mengatakan semua yang ada dalam hatinya ia sedikit
terdiam.
“Maukah kamu jadi pacarku?”
Aku terdiam seribu bahasa mendengar semua itu tulus dari hatinya. Aku tak
ingin terusik dengan permainan kata, aku tak meu terhanyut pada pembawaan
suasana. Aku senang sekaligus sedih. Sederhana saja tapi menyanjung.
“Kamu itu layaknya seperti cahaya dalam kegelapan. Yang setiap kali
kudekati, kamu buru-buru menjauh dariku.”
“Tapi, kalau aku terdiam dan mulai menjauh kamu datang dengan membawa
kehangatan yang memberiku lukisan kedamaian. Terkadang aku ingin pergi menjauh
darimu sejauh yang kusanggup, namun aku tak bisa. Kenapa kamu lakukan semua ini
kepadaku? Perasaan ini terlalu sulit untukku.”
Terang saja, aku mengatakan setiap inti yang ingin kukatakan pada Dicky.
Makin larut, rasaku semakin tak karuan.
“Aku tidak akan meninggalkanmu dalam gejolak kehidupan kini. Aku tak pernah
menginginkan kamu tersakiti. Tapi tolonglah biarkan aku mendapat kesempatan
yang sama seperti yang lain. Memang benar aku tak dapat menjanjikan apa-apa,
hanya saja aku akan berusaha menjadi teman terdekatmu saat ini. Menjadi
seseorang yang istimewa dimatamu.”
Tatapan Dicky yang begitu dalam seakan hanya tercurahkan pada satu kisah
ketulusan hati. Terdengar begitu miris karena yang kurasakan sama seperti dia. Aku
berkata kepada Dhiky untuk memberi waktu untukku berpikir.
Singkat saja beberapa hari kemudian aku menerima rasa yang hangat itu untuk
kami gambarkan pada kisah buku usang yang mulai berwarna nan indah itu.
Membiarkan nyala lilin yang redup dan terjaga pada masing-masing hati.
Kamipun memulai segalanya dengan saling memahami perbedaan dan menghormati
setiap apa yang menjadi keputusan masing-masing. Aku tahu seharusnya ini tak
terjadi. Tapi untuk sesaat saja, biar aku rasakan indahnya perbedaan yang ada.
Biarlah cinta ini hanya seperti tulisan yang terukir diatas pasir pantai yang
perlahan akan terhapus oleh ombak yang damai.
Beginilah sepengal dari kisahku.
Wowwww....amazing
BalasHapus